Prof. Tanigaki Mariko, Ph.D (kiri), Dr. (Cand) Diani Risda (tengah), dan Sandy Ferianda, M.Hum (kanan) pada pertemuan ke-7 International Class on Asian Community, di PIA Hotel Pangkalpinang.
Pangkalpinang (28/3) - Fakultas Ilmu Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung (FISIP UBB) bekerjasama dengan One Asia Foundation (OAF) kembali menggelar pertemuan ke-7 dari 16 pertemuan International Class on Asian Community, pada hari Kamis, 28 Maret 2019, di Hotel PIA, Pangkalpinang.
Pada pertemuan ke-7 ini mengangkat tema "The Importance of Asian Community Common Goals", dengan narasumber Prof. Tanigaki Mariko, Ph.D. (The University of Tokyo) yang merupakan Pakar Sejarah Politik, dimoderatori oleh Sandy Ferianda, M.Hum (Dosen Sastra Inggris FISIP UBB) dan diinterpretasikan oleh Dr. (Cand) Diani Risda (Dosen Sastra Jepang, Universitas Pendidikan Indonesia).
Sebelum perkuliahan dimulai, Dini Wulansari, M.A (Sekretaris Jurusan Sastra Inggris FISIP UBB) menyampaikan Welcome Speech kepada narasumber dan seluruh peserta International Class on Asian Community. Dini Wulansari sedikit memaparkan isi dari materi yang akan disampaikan. "Tujuan utama materi ini yaitu untuk menyatukan pembentukan jaringan anak muda dengan yang lainnya, agar mencapai Asia yang berperan penting dalam dunia, yang bisa disalurkan melalui experience, feedback, dan knowledge", ujar beliau kepada seluruh peserta.
Mengawali perkuliahan, Tanigaki Mariko menceritakan sedikit kisah hidupnya dan pengalamannya berada di Indonesia. Ini merupakan kedatangan yang ke-2 kalinya bagi Tanigaki Mariko di Indonesia. Kedatangan Tanigaki yang pertama kalinya yaitu pada tahun 1990-an, beliau mengungkapkan bahwa Indonesia sudah sangat berkembang dari puluhan tahun yang lalu. Tanigaki Mariko mengenakan pakaian kimono dalam menyampaikan materi kali ini. Menurut Tanigaki Mariko pakaian kimono sangatlah tepat untuk menghormati budaya yang ada di Indonesia.
Tanigaki Mariko mengakui bahwa beliau lebih mengenal Hongkong daripada Jepang, karena dalam penelitian banyak membicarakan tentang Hongkong (Contemporary Hongkong Studies). Tetapi, dalam hal lain, Tanigaki sangat mengapresiasi sistem pendidikan di Jepang, sebab sistem pendidikan di Jepang sangat adil, tanpa memandang jenis kelamin, asal, dan derajat. Namun di sisi lain, Tanigaki sangat tidak setuju dengan kondisi Jepang saat ini yang memasuki Society 5.0, dimana segala sesuatu bisa diselesaikan melalui kecanggihan teknologi. Beliau mempercayai bahwa manusia adalah pelaku utama dalam melakukan segala sesuatu.
Jepang yang pernah menjajah negara Indonesia dan lainnya, ternyata membuat mereka mengurung diri untuk bersosialisasi dengan negara Asia lainnya, itulah yang membuat Tanigaki baru mendapatkan teman dari negara lain di usianya yang 50'an tahun. Setelah melewati beberapa dekade, Jepang sebagai negara maju juga mengalami beberapa permasalahan, seperti sedikitnya angka kelahiran, menurunnya angka produktif, migrasi dari desa ke kota, dan kesenjangan ekonomi di beberapa daerah. Tanigaki mengakui bahwa permasalahan tersebut berbeda dengan Indonesia yang telah lebih produktif dibandingkan Jepang. Dari keseluruhan materi yang diberikan, Tanigaki Mariko memaparkan bahwa pergerakan manusia sangat dahsyat, sehingga membuat Jepang menjadi multikultural yang menyebabkan perubahan kondisi sosial Jepang saat ini.
Kegiatan perkuliahan ditutup dengan berbagai pertanyaan yang dilontarkan para peserta, kuiz dan pemberian doorprize.