Merawang, FISIP UBB— Diskursus mengenai Gender memang selalu menarik dan relevan untuk dibahas dalam forum akademik. Terlebih jika dikaitkan dengan perspektif dan budaya lokalitas, seperti halnya budaya Melayu Bangka, maka perbincangan Gender akan lebih kaya dan melahirkan pengetahuan yang baru. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Bangka Belitung (UBB), melalui Seminar Internasional yang diselenggarakan pada Senin, 7 November 2022, telah menunjukkan bagaimana diskursus mengenai Gender yang dikaitkan dengan sudut pandang budaya Melayu tersebut menghasilkan pengetahuan-pengetahuan yang konstruktif dan berkesan bagi para peserta seminar, yang terdiri dari perwakilan mahasiswa dan dosen di tiga Jurusan di FISIP, Ilmu Politik, Sastra Inggris, dan Sosiologi.
Seminar Internasional dengan tema “Kesetaraan Gender dalam Sudut Pandang Melayu Bangka dan Tantangan Kaum Feminis di Tengah Masyarakat Bangka” menghadirkan 2 (dua) Narasumber, yakni Kazuyo Futaesaku, Mahasiswi Doktoral Kyoto University, Jepang dan Yusnarida Eka Rizmi, Dosen Hubungan International, sekaligus ketua Pusat Studi Asean Universitas Riau. Seminar ini dimoderatori oleh Donal Fernando Lubis, M.A, dan dibuka langsung oleh Rektor UBB, Dr. Ibrahim, M.Si.
Kazuyo sebagai Narasumber yang diberi kesempatan berbicara pertama dalam seminar, lebih fokus membahas topik tentang Budaya Jepang dan Melayu, baik Melayu Bangka, Sumatera, Malaysia, dan beberapa negara lainnya. Kazuyo bisa banyak berbicara tentang Melayu, karena penelitiannya sering dilakukan di Indonesia, khususnya Bangka Belitung. Selain itu, dia juga menyinggung persoalan bagaimana kesadaran terhadap isu Gender antara di Jepang dan Indonesia, berdasarkan hasil pengamatannya selama ini.
Menurutnya, isu kesetaraan Gender menjadi salah satu isu yang memang difokuskan para perempuan di Jepang. Salah satu isu yang sedang hits di sana adalah bagaimana perempuan di Jepang mempersoalkan kewajiban pekerja kantoran perempuan memakai High Heels (Sepatu Hak Tinggi) dan Rok.
“Banyak perempuan di sana merasa risih dengan aturan di kantor seperti itu. Mereka ingin lebih diberi kebebasan soal apa yang harus dipakai saat bekerja. Mereka juga mau makai celana dan sepatu biasa (bukan hak tinggi), agar nyaman ketika bekerja dalam waktu yang cukup panjang,” ucap Kazuyo dengan bahasa campuran antara Indonesia dan Inggris.
Kazuyo juga mengungkapkan bagaimana perubahan eksistensi perempuan Jepang di ranah publik dari waktu ke waktu, yang menurutnya menunjukkan perubahan yang signifikan mengarah kepada trend positif.
Sementara itu, Ibu Dr. Yusnarida Eka Rizmi lebih banyak berbicara terkait dengan teori konstruksi Gender dan Gerakan Feminisme. Teori-teori yang disampaikan oleh Beliau kemudian ditarik untuk mengupas persoalan Gender yang terjadi di kehidupan sehari-hari masyarakat di daerah.
Dalam penyampaian Beliau yang sangat antusias, berhasil menstimulus para peserta untuk bertanya dan menanggapi. Sebagaimana halnya Adelia (Mahasiswi Ilmu Politik) yang pada saat itu bertanya tentang bagaimana strategi agar diseminasi tentang pengetahuan kontruksi gender yang berkeadilan ini sampai kepada level masyarakat akar rumput di kampung-kampung, tidak hanya berkembang pada kalangan civitas akademika.
Lalu, ada Yopi (Mahasiswa Ilmu Politik) yang mengajak Ibu Yusnarida berdialog spesifik mengenai isu bahwa pekerjaan tertentu yang seolah hanya memungkinkan diisi oleh gender tertentu. Di sesi ini juga, Ibu Yusnarida dan Kazuyo diajak beberapa peserta untuk berdiskusi mengenai fenomena pernikahan dini antara di Indonesia dan Jepang (ditanyakan oleh Ridwan, mahasiswa Sosiologi), serta persoalan adat Melayu Bangka, yakni “Nganggung” yang identik dengan ruang milik laki-laki (pertanyaan dari Basofi, Mahasiswa Sosiologi). (Hz/ Dosen Sosiologi UBB)